Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, Tinggi Pengabdian.

Sejarah GMKI

>> Jumat, April 17, 2009

A.1. Awal Berdirinya GMKI

Berdirinya CSV tidak terpisahkan dengan peranan Ir. C.L Van Doorn, seorang ahli kehutanan yang mempelajari aspek sosial dan ekonomi khususnya ilmu pertanian dan kemudian memperoleh doktor di bidang ekonomi serta sarjana di bidang teologi.
Dengan adanya mahasiswa di Indonesia dan bersamaan dengan berdirinya School tot Opleiding van Indishe Artsen (STOVIA) tahun 1910-1924 di Batavia. Selain itu, berdiri juga Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya (1913), Sekolah Teknik di Bandung (1920), Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1914) dan Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta (1924). Pada tahun 1924 terbentuklah Batavia CSV dan inilah cabang CSV yang pertama.

Kurun waktu 1925-1927 para mahasiswa di Surabaya yang tergabung dalam Jong Indie aktif melakukan penelaahan Alkitab. Kelompok ini bersama Batavia CSV mengadakan Konferensi di Kaliurang pada bulan Desember 1932. Pembicara-pembicara utama kegiatan tersebut adalah Dr. J. Leimena, Ir. C.L van Doorn dan Dr. Hendrik Kraemer.

Jumlah anggota CSV op Java dalam kurun waktu 1930-an sekitar 90 orang. Cabang-cabangnya baru ada di kota-kota perguruan tinggi di Jawa (Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya). Walaupun kecil dan lemah namun keberadaan CSV op Java telah berhasil meletakkan dasar bagi pembinaan mahasiswa Kristen yang akan dilanjutkan GMKI di kemudian hari.

Sejumlah mahasiswa kedokteran dan hukum di Jakarta memutuskan untuk membentuk suatu organisasi mahasiswa Kristen. Organisasi itu untuk menggantikan CSV op Java yang sudah tidak ada. Dalam pertemuan di STT Jakarta tahun 1945, dibentuk Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) dengan maksud keberadaannya sebagai Pengurus Pusat PMKI. Dengan demikian Dr. J. Leimena dipilih sebagai Ketua Umum dan Dr. O.E Engelen sebagai Sekretaris Jenderal. Tetapi karena Leimena sibuk dengan tugas-tugas sebagai Menteri Muda Kesehatan, tugas-tugasnya diserahkan kepada Dr. Engelen.

Kegiatan-kegiatan PMKI tidak jauh berbeda dengan CSV op Java dengan Penelahaan Alkitab salah satu inti kegiatannya. Keanggotaan PMKI sebagian besar adalah mahasiswa yang memihak pada perjuangan kemerdekaan. Terbentuklah PMKI di Bandung, Bogor, Surabaya dan Yogyakarta (setelah UGM berdiri) segera menyusul.
Tak lama setelah PMKI lahir, awal tahun 1946 muncul organisasi baru dengan menggunakan CSV di Bogor, Bandung dan Surabaya dengan “CSV yang baru” dan tidak menjadi tandingan PMKI. Kesamaan kedua organisasi ini adalah merealisasikan persekutuan iman dalam Yesus Kristus dan menjadi saksi Kristus dalam dunia mahasiswa.

Masuknya Jepang ke Indonesia mengakhiri eksistensi CSV op Java secara struktural dan organisatoris. Pemerintah pendudukan Jepang melarang sama semua kegiatan-kegiatan organisasi yang dibentuk pada jaman Belanda. Secara prakatis CSV op Java tidak ada lagi sejak tahun 1942. Sepanjang sejarahnya, CSV op Java dipimpin oleh Ketua Umumnya Dr. J. Leimena (1932-1936) serta Mr. Khouw (1936-1939). Sedangkan sekretaris (full time) dijalankan Ir. C.L Van Doorn (1932-1936).

Dengan berakhirnya pertikaian Indonesia dengan Belanda, tahun 1949 berakhir pula “pertentangan” antara PMKI dengan CSV baru tersebut. Tanggal 9 Februari 1950 di kediaman Dr. J. Leimena di Jl. Teuku Umar No. 36 Jakarta, wakil-wakil PMKI dan CSV baru hadir dalam pertemuan tersebut. Maka lahirlah kesepakatan yang menyatakan bahwa PMKI dan CSV baru untuk meleburkan diri dalam suatu organisasi yang dinamakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan mengangkat Dr. J. Leimena sebagai Ketua Umum hingga diadakan kongres. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan sangat penting dan suatu moment awal perjuangan mahasiswa Kristen yang tergabung dalam GMKI maka pada kesempatan itu Dr. J. Leimena menyampaikan pesan penting yang mengatakan:

“Tindakan ini adalah suatu tindakan historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen pada khususnya. GMKI menjadilah pelopor dari semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia. GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan (leershool) dari orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan dan kebaikan negara dan bangsa Indonesia. GMKI bukanlah merupakan Gesellschaft, melainkan ia adalah suatu Gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya. Dengan demikian ia berakar baik dalam gereja, maupun dalam Nusa dan Bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari iman dan roh, ia berdiri di tengah dua proklamasi: Proklamasi Kemerdekaan Nasional dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan Injilnya, ialah Injil Kehidupan, Kematian dan Kebangkitan”


A.2. Biografi Pendiri GMKI

Dr. Johannes Leimena (Ambon, 6 Maret 1905 - Jakarta, 29 Maret 1977) adalah seorang tokoh politik Indonesia. Leimena menjabat dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak masa Kabinet Sjahrir II (1946) hingga Kabinet Dwikora II (1966), baik sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, maupun Wakil Menteri Pertama. Selain menjadi Menteri Kesehatan Indonesia yang pertama, Leimena juga menjabat sebagai Menteri Kesehatan Indonesia yang paling lama (selama 21 tahun) dari 1945-1966. Selain itu, Leimena juga seorang Laksamana Madya (Tituler) di TNI Angkatan Laut.

Leimena menyelesaikan pendidikan kedokterannya di STOVIA, Surabaya (1930), dilanjutkan di Geneeskunde Hogeschool/GHS (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 1939. Ia juga salah seorang pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Pada tahun 1914, Leimena hijrah ke Batavia (Jakarta). Di Batavia ia meneruskan studinya ke ELS (Europeesch Lagere School), namun hanya beberapa bulan saja lalu pindah ke sekolah menengah Paul Krugerschool (kini PSKD Kwitang). Dari sini J. Leimena melanjutkan ke MULO Kristen, kemudian ke STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen).

Dengan keaktifannya di Jong Ambon, Leimena ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Perhatian Leimena pada pergerakan nasional kebangsaan berkembang sejak pertengahan tahun 1920-an.
Keprihatinan Leimena atas kurangnya kepedulian sosial umat Kristen terhadap nasib bangsa, merupakan hal utama yang mendorong niatnya untuk aktif pada "Gerakan Oikumene". Tahun 1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Setelah lulus studi kedokteran STOVIA, Leimena terus mengikuti perkembangan CSV yang didirikannya saat ia duduk di tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun 1950.

Tahun 1945 Partai Kristen Indonesia (Parkindo) terbentuk dan pada tahun 1950 Leimena terpilih sebagai ketua umum dan memegang jabatan ini hingga tahun 1957. Selain di Parkindo, Leimena juga berperan dalam pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia, kini PGI), juga di tahun 1950. Di lembaga ini Leimena terpilih sebagai wakil ketua yang membidangi komisi gereja dan negara.

J. Leimena mulai bekerja sebagai dokter sejak tahun 1930. Pertama kali diangkat sebagai dokter pemerintah di "CBZ Batavia" (kini RS Cipto Mangunkusumo). Tak lama di sini ia ditugaskan di Karesidenan Kedu saat Gunung Merapi meletus. Setelah itu dipindahkan ke Rumah Sakit Zending Immanuel Bandung. Di rumah sakit ini ia bertugas dari tahun 1931 sampai 1941.

Ketika Orde Baru berkuasa, Leimena mengundurkan diri dari tugasnya sebagai menteri, namun ia masih dipercaya Presiden Soeharto sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) hingga tahun 1973. Usai aktif di DPA, ia kembali melibatkan diri di lembaga-lembaga Kristen yang pernah ikut dibesarkannya seperti Parkindo, DGI, UKI, STT, dan lain-lain. Ketika Parkindo berfusi dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia, kini PDI-P), Leimena diangkat menjadi anggota DEPERPU (Dewan Pertimbangan Pusat) PDI, dan pernah pula menjabat Direktur Rumah Sakit DGI Cikini.


Gugatan Nurani

Kepedulian pada kesehatan rakyat ini boleh jadi merupakan gugatan nurani Leimena saat melihat penderitaan rakyat selama berabad-abad dijajah. Gugatan nurani Leimena ini tergambar dalam beberapa buah buku yang ia tulis. Diantaranya, ”Membangun Kesehatan Rakjat” (Noordhoff-Kolff N.V. 1952 Djakarta), ”Kesehatan Rakjat di Indonesia” (Van Dorf 1956) dan ”Public Health in Indonesia” (Van Dorf 1956). Buku-buku tersebut adalah saksi kepedulian Leimena pada masalah kesehatan rakyat Indonesia.

Ada pula saksi hidup yang mengukuhkan keyakinan betapa perdulinya Leimena pada rakyat kecil. Nama tokoh tersebut adalah Prof DR Dr Poorwo Soedarmo (pdpersi.co.id, 31/5). Poorwo diangkat sebagai Kepala Lembaga Makanan Rakyat (1952) oleh Leimena yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan Kabinet Wilopo. Alasan pengangkatan Poorwo Soedarmo ini berdasarkan laporan Organisasi Pangan Sedunia (FAO) yang menyebutkan, dari 43 negara rawan gizi, Indonesia saat itu berada pada urutan paling buntut dalam daftar konsumsi protein dan karbohidrat.

Untuk mengatasi masalah ini, Leimena kemudian membebankan tujuh tugas pada pundak Poorwo. Tujuh tugas itu: pertama, survei gizi. Kedua, sadar gizi bukan cuma masyarakat saja melainkan dokter-dokter dan pemerintah. Ketiga, perbaikan pelayanan makanan di rumah-rumah sakit. Keempat, mengajak dokter mempelajari up to date nutrition dan menyesuaikan terapi serta diagnosis. Kelima, mengembangkan dietetik. Keenam, pembentukan kader. Ketujuh, pemerintah diarahkan kepada suatu National Food Policy.

Itu hanyalah gebrakan kecil Leimena. Gebrakan lain yang cukup terasa pengaruhnya adalah saat ia mengadakan unit-unit jawatan kesehatan kuratif dan preventif yang tersusun untuk rakyat, khususnya rakyat di desa-desa (rural areas). Usaha kuratif ini meliputi, memperluas tempat-tempat orang sakit, hamil, anak-anak, baik di kota maupun daerah-daerah luar kota, serta memperbanyak jumlah balai-balai pengobatan di daerah-daerah luar kota.

Leimena menganggap, memperbanyak jumlah balai pengobatan di daerah luar kota (desa) sangat perlu dengan alasan, ketika itu di Indonesia ada 28.000 desa. Namun, tidak semua desa berekonomi kuat. Apalagi, Sumber Daya Manusia sedikit dan terbatas sifatnya. Begitu pula halnya dengan fasilitas kesehatan. "Rakyat desa tak boleh hanya dilayani dengan tindakan preventif, tapi juga usaha kuratif," tegasnya di masa itu.

Maka, mulailah usaha-usaha preventif dilakukan Leimena. Antara lain, mendirikan balai-balai nasehat kesehatan (consultatie bureaux) untuk orang hamil dan bayi, dan pemberian pendidikan kesehatan intensif bagi rakyat di desa-desa.

Sebagai percontohan, J. Leimena kemudian mencanangkan Bandung Plan. Bandung Plan ini merupakan suatu kombinasi dari usaha kuratif dan preventif yang dijalankan bersama-sama di bawah satu pimpinan dengan cara intensif. Bandung Plan berjalan cukup baik. Sehingga akhirnya, usaha percontohan Bandung Plan ditularkan ke daerah-daerah lain, baik di Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa. Setidaknya, upaya ini merupakan gebrakan lumayan baik bagi seorang anak bangsa. Mengingat Republik saat itu masih terlampau muda umurnya, pun dengan beragam permasalahan yang ada.


Etika Dokter

Masalah moralitas kemudian menjadi masalah yang juga teramat diperhatikan oleh J. Leimena. Moralitas yang dimaksud adalah moralitas pada para dokter. Bagi Leimena, tugas dokter merupakan tugas suci yang mesti diemban dengan sebaik-baiknya. Dokter bertugas melakukan pelayanan sosial. Namun ada masalah yang timbul setelah berakhirnya Perang Dunia ke-II, yaitu semakin menurunnya tingkatan etika dari para pegawai yang bekerja di lapangan kedokteran, seperti dokter, bidan, jururawat dan sebagainya.

Hal ini tergambar pada hampir semua negara di seluruh dunia. Oleh karena itu, Leimena mengusahakan agar di Indonesia tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan etika kedokteran. Ini tertulis dalam bukunya ”Dokter dan Moral” (Etika Kedokteran, Dr J. Leimena, Noordhoff-Kolff NV, 1951, Djakarta).

Gebrakan J. Leimena yang lain adalah mengatur agar tidak terjadi plus-minus dalam penempatan pegawai medis dan pegawai para-medis (ahli obat, analis, kontrolir kesehatan, bidan, jururawat, mantri hygiene dan pendidik hygiene) di nusantara. Sebagai buktinya, Leimena pernah menyatakan Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Malang sebagai tempat tertutup bagi praktek baru dokter gigi dan bidan (SK MenKes RI tanggal 15 Agustus 1951). Hal ini pun berlaku bagi para dokter yang akan membuka praktek di Makassar tahun 1951. Menurut Leimena, jumlah dokter di Makassar terlampau banyak dibandingkan tempat-tempat lain di Indonesia, maka ia menyatakan Makassar sebagai tertutup untuk menjalankan praktek baru bagi dokter (SK Menkes RI tanggal 18 Oktober 1951).

Tak dapat dipungkiri, J. Leimena adalah sosok multidimensial. Mungkin tiada yang tahu apa yang ada dalam benaknya; berkarier di dunia politik untuk mendukung kemajuan dunia kesehatan Indonesia, ataukah gebrakannya di dunia kesehatan untuk menunjang karier politiknya. Walau demikian, apa yang telah dilakukan J. Leimena tercatat sebagai sesuatu yang besar. J. Leimena telah berbuat, dan sejarah negeri ini mencatatnya dengan tinta emas. Terutama, apa yang telah dia perbuat bagi kesehatan rakyat kecil, rakyat desa, rakyat terbesar yang dimiliki negeri ini, negeri Indonesia.


Gelar pahlawan

Konsistensi dan kesetiaan Leimena terutama pada ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang dipegang teguh hingga akhir hayatnya. Kesetiaan Leimena terhadap sahabatnya, Soekarno, telah teruji pascatragedi gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Ketika semua orang menjauhi Soekarno, Leimena-lah satu-satunya orang yang mendampingi Proklamator itu di Istana Bogor.

Salah satu pemikiran penting Leimena bagi nasionalisme umat Kristen Indonesia, yang digarisbawahi Seto Harianto, adalah dalam hal kecintaan, kesetiaan, ketaatan, dan pengorbanan bagi Tanah Air, bangsa, dan negara. Dalam hal ini, ia mengingatkan, orang Kristen tidak boleh kurang daripada orang lain sebagai pencinta Tanah Air. Orang Kristen juga harus menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan nasionalis sejati.


PERIODEISASI GERAKAN MAHASISWA KRISTEN INDONESIA

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia adalah organisasi kemahasiswaan yang didirikan pada tanggal 9 Februari 1950. Namun Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV) yang menjadi cikal bakal GMKI telah ada jauh sebelumnya dan berdiri sejak 28 Desember 1932 di Kaliurang.Adapun secara ringkas periodisasi sejarah GMKI adalah :
 CSV Op Java ( 1932 – 1942 )
 PMKI ( 1945 – 1950 ) dan CSV Baru ( 1946 – 1950 )
 GMKI ( 1950 sampai sekarang )


B.1. CSV Op Java

Tokoh yang tidak dapat dilupakan perannya dalam kelahiran CSV OP java adalah aktivis WSCF Ir. C. L. Van Doorn. Beliau adalah seorang sarjana kehutanan yang aktif mempelajari ilmu-ilmu sosial dan ekonomi pertanian. Bahkan sampai ajalnya ia juga memperoleh gelar Dominee dalam bidang theologia. C.L Van Doorn tiba di Batavia tahun 1921, Ketika itu dia belum memahami karakter, budaya dan situasi bangsa Indonesia saat itu, sehingga ia memutuskan belajar untuk memahaminya dengan bekerja dikantor Volksrediet Purworejo.
Munculnya mahasiswa di Indonesia seiring dengan berdirinya Perguruan Tinggi yang ada dipulau Jawa diantaranya adalah School Tot Opleiding Van Indische Artsen ( STOVIA ) di Batavia tahun 1910-1924, Sekolah Tinggi Teknik di Bandung tahun 1920, Sekolah Tinggi Hewan di Bogor tahun 1914 dan Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta tahun 1924. Pada tahun 1924 terbentuklah Batavia CSV di Batavia yang merupakan CSV pertama yang ada, kemudian mahasiswa yang ada di Surabaya dalam kurun waktu 1935-1927 berkumpul dan membentuk Jong indie. Aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh kedua kelompok ini adalah Penelahan Alkitab dan Kelompok kecil dan diskusi seputar kehidupan sosial yang ada secara aktif dan intens.
Pada bulan Desember 1932 ketika orang Kristen sedang merayakan natal, kelompok-kelompok ini mengadakan konperensi di Kalirung dan hasilnya dibentuklah Christelijke Studenteen Vereeniging Op java (CSV Op Java) pada tanggal 28 Desembar 2932 dan saat itu dipilih Dr. J. Liemena sebagai ketua dan Ir. C.L Van Doorn sebagai sekretaris.
Peristiwa lain yang tidak kalah penting yang mempengaruhi CSV Op Java ialah kehadiran Dr. John R. Mott pada tahun 1926, beliau merupakan tokoh pendiri dari World Student Cristian Federation yang didirikan pada tahun 1885 di Swedia. Kehadirannya di Indonesia merupakan tonggak sejarah bagi kelahiran CSV Op Java dimana berkat bantuannya CSV Op Java diberi kepercayaan oleh WSCF untuk menjadi tuan rumah penyelenggraan Konprensi GMK-GMK se-Asia pada tahun 1933 di Citeureup, Jawa Barat. Pada saat konperensi ini CSV Op Java diterima menjadi Corrresponding Member dari WSCF, dimana keanggotaan WSCF ada 3 yaitu :
 Pioneering Movement
 Corresponding Movement
 Affiliated Movement (Full Member)

Jumlah anggota pada era 1930an sekitar 90 orang yang tersebar di kota-kota yang baru ada Perguruan Tingginya. Sekalipun kecil dan lemah namun CSV Op Java telah berhasil meletakkan dasar pembinaan kepada mahasiswa Kristen di Indonesia yang selanjutnya dilanjutkan oleh GMKI. Ada dua aspek yang merupakan benang biru yang dilahirkan oleh CSV Op Java yaitu kerjasama GMK -GMK se-Asia (oikumenisme) dan rasa semangat persatuan nasional (nasionalisme)

Masa eksistensi CSV Op Java berakhir ketika jepang masuk ke Indonesia. Dengan itu, maka semua organisasi-organisasi bentukan Belanda dibubarkan dan dilarang untuk beraktifitas. Maka pada tahun 1942 CSV Op Java praktis tidak ada lagi dan tidak beraktifitas lagi.


B.2. PMKI dan CSV baru (Masa Revolusi Kemerdekaan RI 1945)

Dalam suatu pertemuan pada tahun 1945 di STT Jakarta, mahasiswa-mahasiswa Kristen saat itu membentuk organisasi mahasiswa Kristen yang dimaksud untuk menggantikan CSV Op Java yang bernama Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI). Saat itu Dr. J. Leimana ditetapkan sebagai ketua dan Dr. O. E. Engelen sebagai sekretaris.
Kegiatan yang dilakukan PMKI tidak terlalu berbeda dengan yang dilakukan oleh CSV Op Java, Penelahaan Alkitab dalam kelompok-kelompok kecil merupakan kegiatan utamanya disamping studi-studi tentang kondisi nasional dan ideologi bangsa saat itu. Tidak lama setelah lahirnya PMKI, diawal tahun 1946 muncul suatu organisasi baru yang bernama CSV. CSV baru sebenarnya bukanlah tandingan dari PMKI hanya CSV ini lebih berorientasi kepada “Pemerintahan pendudukan Belanda“ sehingga dalam gerakan dan aktifitasnya sering terjadi pertentangan-pertentangan. Ditengah pertentangan-pertentangan dan problemalatikanya masing-masing, maka ada dua kesamaan diantara kedua organisasi ini, yaitu sama-sama berusaha dan berjuang untuk :
 Perealisasi Iman dalam Yesus Kristus sebagai sebuah persekutuan
 Menjadi saksi Kristus dalam dunia mahasiswa


B.3. GMKI yang melanjutkan Misi dan Eksistensinya

Menurut Tarianto, BA pada masa keberadaan GMKI dibagi menjadi :

(a). Masa Perkembangan (1950-1960)

Dengan berakhirnya pertentangan antara Indonesia dan Belanda maka berakhir pula pertentangan antara PMKI dan CSV pada akhir tahun 1949. Puncak dari akhir pertentangan tersebut ialah pada saat pertemuan di Jl Teuku Umar 36 Jakarta (rumah Dr J. Leimena) tanggal 9 Februari 1950. Wakil-wakil dari kedua organisasi tersebut sepakat untuk meleburkan diri dan bergabung bersama dengan nama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Sebuah catatan sejarah yang sangat tinggi nilainya bagi gereja dan negara saat proses proklamasi kehadiran GMKI dipilihlah Dr J. Leimena sebagai ketua sementara sampai diadakannya Kongres yang pertama dan pada kesempatan itu Leimena berpidatao yang diantaranya berbunyi :
“Tindakan ini adalah tindakan historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen Khususnya. GMKI menjadi pelopor semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakkan di Indonesia. GMKI menjadilah pusat, sekolah latihan (Leader School) dari orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu mengenai kepentingan dan kebaikan bangsa Indonesia. Persekutuan dalam Kritus Tuhannya. Dengan demikian ia berakar baik dalam gereja, maupun dalam nusa dan bangsa Indonesia, sebagai bagian dalam iman dan roh, ia berdiri dalam dua Proklamasi : Proklamasi kemerdekaan dan Proklamasi Tuhan Yesus dengan Injilnya, yaitu Injil kehidupan, kematian, dan kebangkitan."

Mulai dari sana GMKI melanjutkan perjuangan dan pengembangan organisasinya dengan melakukan kongres dan melakukan pengembangan cabang-cabang. Pada tahun 1953 GMKI Cabang Medan dibentuk bersama-sama dengan Cabang Bogor dan pada tahun itu pula melalui General Assembly WSCF di Nasrapur India, GMKI resmi diterima sebagai affiliated Movement (Full Member) WSCF. Periode awal ini sampai 1960 disebut sebagai fase perkembangan organisasi dengan mengadakan pembentukan cabang-cabang baru.

(b). Masa Konsolidasi (1960-1970)

Pada era ini terjadi suatu pergolakan Nasional yang pokok persoalannya ialah masalah Struktur negara dan kepemimpinan nasional. Sikap yang diambil oleh Pengurus Pusat GMKI terkesan lamban karena wacana yang ada pada Pengurus Pusat pada saat itu yaitu pergantian atau pergerseran Soekarno sebagai Presiden belum bisa dilakukan tanpa pergeseran Pancasila dan UUD 1945. Setelah terjadi kesepakatan untuk tidak terjadi pergeseran Pancasila dan UUD 1945 barulah GMKI menyetujui pembubaran PPMI dan menyetujui pembentukan KAMI. Melihat kelambanan Pengurus Pusat, maka pada saat itu banyak anggota GMKI yang melakukan protes dengan melakukan aksi coret-coret menuntut percepatan sikap Pengurus Pusat GMKI. Kelambanan Pengurus Pusat GMKI saat itu, sedikit banyaknya telah mempengaruhi cabang-cabangnya dalam mengambil langkah, namun untuk cabang Medan Aktifis GMKI Medan saat itu ikut berperan Aktif di KAMI bahkan menjadi Garda depan dari pergerakan mahasiswa saat itu.

Pada era ini GMKI dengan dinamika internalnya disibukkan untuk melakukan konsolidasi organisasi dimana terjadi pertentangan antara Pengurus Pusat GMKI dan cabang-cabang saat itu. Oleh karena itu, maka dari kongres ke kongres terjadi perubahan-perubahan dalam diri GMKI diantaranya perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga GMKI yang mengatur tentang perubahan tata organisasi GMKI dari yang desentralisasi menjadi sentralisasi.

(c). Masa Pengutusan

Setelah Soeharto menggantikan Soekarno dengan pemerintahan Orde barunya, maka saat itu bulan madu antara militer dan mahasiswa yang sebelumnya terjadi, berakhir. Hal ini tampak dengan pembubaran KAMI. Melihat hal tersebut, maka organisasi mahasiswa Ekstra kampus, yaitu HMI, GMKI, PMKRI, PMII, GMNI mengadakan pertemuan di Cipayung pada tanggal 22 Januari 1972 dan melakukan penandatanganan kesepakatan yang dikenal dengan nama Kesepakatan Cipayung dan kelak ke-lima organisasi ini disebut dengan Kelompok Cipayung dimana tema yang diambil pada pertemuan kelompok ini adalah “Indonesia yang dicita-citakan“. Kelompok Cipayung ini adalah kelompok yang sifatnya informal dan tidak mempunyai struktur dan tata organisasi lainnya.

Pada tanggal 23 Juli 1973 Kelompok Cipayung memprakarsai pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang merupakan organisasi gabungan kepemudaan yang mempunyai tujuan untuk melibatkan pemuda berperan serta dalam pembangunan nasional dan juga untuk menghindarkan pengkotak-kotakan semu antara pemuda. Akhir tahun 1970-an ketika Daeod Joesoef mengeluarkan NKK/BKK yang melarang organisasi ekstra untuk melakukan segala macam aktifitas didalam kampus dan juga pembubaran Dewan Mahasiswa, maka ini sangat mempengaruhi GMKI dalam melakukan pembinaan dan pengkonsolidasian kepada anggotanya, dimana sebelumnya pembinaan kepada anggota GMKI dilakukan langsung di dalam kampus. Sejak itu timbul ide dan Strategi yang dipakai GMKI dengan membentuk KMK Atau PMK yang diharapkan mampu menjadi perpanjangan tangan GMKI dalam melakukan pembinaan anggota dalam kampus. Namun seiring waktu berlalu, strategi ini seolah-olah bukan lagi Strategi GMKI. Mungkin ini disebabkan oleh perbedaan pemahaman Theologia.

Disaat era 90-an kekritisan organisasi ekstra mulai dipertanyakan secara lembaga, mungkin ini disebabkan oleh suatu sistem organisasi yang mapan atau birokarasi Organisasi yang sangat panjang dalam mengambil sikap. Kader-kader GMKI dan organisasi lainnya berfungsi langsung sebagai kontrol sosial dan kekuasaan. Sampai saat jatuhnya Soeharto peran organisasi ekstra, khususnya GMKI tidak nyata secara lembaga tetapi banyak kader-kader GMKI yang cukup aktif sebagai penggerak dalam pergerakan mahasiswa saat itu.
Memasuki era pemerintahan Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati yang kita sebut sebagai era reformasi, GMKI mencoba untuk eksis menjadi organisasi kader dan organisasi mahasiwa sebagai kontrol pemerintah dan kontrol sosial walaupun dalam aksinya kita analisa kembali sejauh mana peran dan kekritisan yang diambil oleh GMKI dalam melakukan perannya terasebut.


B.4. Perkembangan GMKI

Saat ini, GMKI memiliki 65 cabang yang tersebar di kota-kota perguruan tinggi di berbagai provinsi di Indonesia. GMKI merupakan tempat persiapan kader dengan kompetensi dalam iman, ilmu, kepemimpinan dan kepekaan sosial yang dapat diaplikasikan dalam tiga medan pelayanannya yakni, gereja, perguruan tinggi dan masyarakat.
Dalam melakukan Pelayanannya, GMKI membangun kerjasama dengan beberapa institusi seperti Gereja, Universitas, LSM, MEDIA, aktif dalam Kelompok Cipayung (GMKI, GMNI, PMKRI, HMI, PMII) dan FKPI (Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia) dengan berbagai program kerjasama. GMKI juga berafiliasi dengan Federasi Mahasiswa Kristen se-Dunia (WSCF) dan saat ini membangun jaringan dengan Perkumpulan Organisasi Kristen dalam bidang Sosial se-Asia (ACISCA).

0 komentar:

Komentar Terbaru

Admin Status Online

Novriadi Sitompul Michael Silaban

Opini Tokoh

Peristiwa

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Member