Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, Tinggi Pengabdian.

Politik GMKI

>> Jumat, April 17, 2009

Kedirian Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) adalah fakta historis dalam keberpihakannya terhadap proklamasi bangsa dan kerinduan untuk menyebarkan Injil. Opini yang terbentuk di medan gumul GMKI (sampai saat ini) adalah kepantasannya untuk terjun dalam politik. Paling tidak wacana ini membawa arus deras akan nilai-nilai yang terkandung di GMKI dan tergerus kepada pemahaman yang terpolarisasi yang menyebabkan GMKI kadang tak lagi “murni”.

GMKI “membaptis “ dirinya sebagai gerakan pemikiran dan inteletektual yang berjalan dalam ranah sosial kemasyarakatan yang bersumber kepada nilai-nilai alkitabiah. Hal ini juga praktis mengklaim dirinya sebagai organ yang cenderung dinamis dan inklusif. Ada dua makna menurut saya yang terkandung dalam kata (gerakan) itu yaitu : 1. gerakan moral,2. gerakan politik. Kedua hal ini menjadi kombinasi yang apik dengan memadukan antara gerakan politik yang bermoral dan gerakan moral untuk politik.


Secara normatif politik dibangun untuk memperjuangkan teologi kebaikan umum (bonnum commue) Paradoks gerakan GMKI menjadi hambatan dalam tataran implementasinya. Maka teori das sollen dan das sein pun mendapat pembenaran akan situasi ini. Paradoks selalu berarti baik/buruk, beradab/biadab,pantas/tidak pantas dan sebagainya. Gerakan GMKI selalu terjebak dalam ranah perbincangan itu.

Pola gerak GMKI selalu dibangun dalam dua landasan yang mendasar. Yaitu penguatan kapasitas internal organisasi dan penguatan kapasitas ditiga medan pelayanan dalam hal aksi partisipasi. Implikasinya menjadi jelas tatkala keduanya tersangkut-paut dan tak mungkin terpisahkan

Kerinduan GMKI dalam aksi partsipasi ini seperti yang dijelaskan diatas mengalami problematiknya sendiri. Konteks keberpihakan GMKI terhadap masyarakat kecil (gerakan moral), ‘kejantanan’ GMKI dalam mengawal kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi kepada sosial masyarakat (gerakan politik) paling tidak terbelah dua. Yakni apakah murni GMKI berpihak kepada masyarakat kecil ataukah pola geraknya hanya untuk mendapatkan pamoritas, pesona yang akan menggiring GMKI kepada organ yang cukup diperhitungkan dalam tarik-tarikan di lapangan politik nantinya. Kondisi kedua lebih mendapat titik berat dalam wacana yang berkembang baik dikalangan internal maupun penikmat dikalangan eksternal. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah aksi partisipasi yang dilakukan oleh GMKI sudah mendapat “legitimasi” dalam pergumulan internalnya? Ataukah image yang terbangun dikalangan penikmat eksternal tak memahami pola pergerakan GMKI? Lantas siapa yang pantas menetralisir ini? Pertanyaan-pertanyaan ini penting dikaji untuk kemudian merumuskan kultur bersaing organisasi di tengah-tengah menjamurnya organisasi yang sejenis.

Menurut Hannah Arendt prinsip-prinsip yang terkandung dalam politik adalah kebebasan, kesetaraan, keadilan dan solidaritas. Terwujudnya ini melalui media perjuangan aksi partisipasi yang dilakukan GMKI di tiga medan pelayanannya yang selalu mendapat tantangannya. Memang menjadi sebuah “beban sejarah” bagi GMKI ketika dahulu menempatkan dirinya pada “keberpihakan” pada salah satu partai politik meskipun sebetulnya kondisi ini dapat diluruskan dalam benang sejarah. Harusnya sejarah tidak dihancurkan tapi dikoreksi (Hariatmoko) Pada gilirannya nilai ke-GMKI-an terbenam tatkala sejarah tidak ditelaah dan dikoreksi apalagi dihancurkan

Hadirnya politik identitas dalam ruang demokrasi Indonesia, semakin menguatkan bahwa memang realitas perjalanan politik di Indonesia tidak pernah memperjuangkan kebebasan, kesetaraan, keadilan dan solidaritas. Perjuangan yang lebih mengedepankan “kebanggaan” kelompok, suku, ras dan bahkan agama. Disinilah sebenarnya letak “keterjebakan” GMKI dalam menentukan pilihannya terdahulu walau pada fakta kediriannya gerakan-gerakan sosial (GMKI juga termasuk didalamnya) memberikan peran politiknya.

Tanggungjawab penatalayanan GMKI tak luput dari peran serta kader-kadernya untuk terus menggali nilai-nilai kesejarahan dan alkitabiahnya. Yang kemudian GMKI akan terus berbuah dan menjadi suri teladan bagi bangsa ini.

Perhelatan demokrasi yaitu pemilihan kepala daerah kini lagi berlangsung di Jawa Barat. Puncaknya barudak Jawa Barat akan menentukan pilihannnya pada bulan April ini. Siapakah yang pantas dan layak untuk menjadi pimpinan Jawa Barat rentang lima tahun ke depan? Setelah Ibukota Jakarta, Jawa Barat layak diperhitungkan sebagai representasi dari pertarungan partai menjelang pemilu 2009.

Menarik menyimak peranan GMKI Bandung dalam perhelatan ini. Suara moral yang terkandung dalam dirinya kita harapkan dapat memberi warna. Warna untuk kemaslahatan umat, khususnya Jawa Barat. Semoga..

Oleh : Lambok FC Pardede

Sumber : http://gmki-bandung.blogspot.com/2009/01/politik-gmki.html

0 komentar:

Komentar Terbaru

Admin Status Online

Novriadi Sitompul Michael Silaban

Opini Tokoh

Peristiwa

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Member